Jeruk tongheng...manis didalam manis diluar
“Rasa kulit dan buahnya manis. Kami belum punya jeruk seperti ini,” kata peneliti Plasma Nutfah Jeruk dan Buah Subtropika, Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) di Batu, Provinsi Jawa Timur, Emi Budiyati. Emi baru saja mengiris menjadi lima bagian buah jeruk seukuran koin Rp500 yang Trubus sodorkan, lalu menyantap salah satu irisan tanpa mengupas kulit buah yang berwarna jingga.
Sosok buah yang mungil mengingatkan Emi pada jeruk nagami. Yang disebut terakhir kerap hadir sebagai jeruk hias pada perayaan Tahun Baru Imlek. Kulit nagami juga manis sehingga buah sering dikonsumsi bersama kulitnya. Hanya saja, “Rasa kulit nagami manis, tapi daging buahnya masam,” kata alumnus jurusan Agronomi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu. Bentuk buah nagami lebih lonjong sementara jeruk yang Trubus sodorkan cenderung bulat. Perbedaan lain, daun nagami membulat, sementara daun jeruk yang baru saja Emi konsumsi lebih lonjong.
Dari China
Jeruk manis kulit dan daging buahnya itu dari Hervin Sasono. Kolektor buah di Malang, Jawa Timur, itu menyebutnya jeruk tongheng. Hervin menanam bibit yang ia dapat dari seorang rekan sesama kolektor buah pada 2010. Bibit setinggi 50 cm itu sudah mengeluarkan buah tapi masih pentil. Empat bulan kemudian buah matang. Cita rasa buah sama persis yang Hervin cicipi di kebun sang rekan: kulit dan daging buah manis! Keistimewaan itu pula yang membuat Teguh Jaya terpincut menanam tongheng. Kolektor buah di Desa Bangsri, Blitar, Jawa Timur, itu mendapatkan bibit dari kolektor yang mengimpor tanaman anggota famili Rutaceae itu dari China pada 2002.
Sinse Muhammad Yusuf yang kerap mondar-mandir ke Negeri Tirai Bambu pernah mencicipi jeruk dengan karakter seperti tongheng. Ahli pengobatan tradisional china itu beberapa kali menikmati jeruk manis kulit dan daging buahnya itu saat berkunjung ke kota Guangzhou di Provinsi Guangdong, serta ketika bertandang ke Provinsi Qinghai dan Hunan. Sayang, Yusuf tidak pernah menanyakan nama jeruk itu.
Prof Dr Roedhy Purwanto dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika Institut Pertanian Bogor (PKHT IPB) menduga, tongheng masih sekerabat dengan jeruk kumquat Fortunella sp. “Rasa kulit dan buah kumquat juga manis. Kemungkinan satu spesies tapi beda varietas,” tuturnya. Namun, sebagian besar jenis jeruk kumquat tidak dapat berbuah di Indonesia. “Iklim di Indonesia tidak cocok untuk fase induksi bunga,” kata doktor Fisiologi Tumbuhan dari Ehime University, Jepang, itu.
Menurut Roedhy, untuk fase induksi pembungaan, kumquat membutuhkan suhu kurang dari 15oC selama 3 bulan. Guru besar di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB itu menuturkan kumquat juga tidak dapat tumbuh di semua daerah di China. “Jeruk itu hanya tumbuh di kawasan China bagian selatan,” kata Roedhy.
Tabulampot
Penelusuran Trubus ke beberapa penangkar buah di Bogor (Jawa Barat), Jakarta, dan Demak (Jawa Tengah) jeruk tongheng relatif baru. “Saya baru mendengar namanya,” kata Prakoso Heryono, kolektor dan penangkar buah di Demak, Jawa Tengah. Mayoritas penangkar lebih mengenal nagami yang berkulit manis. Menurut Prakoso jeruk nagami kerap dijadikan hiasan saat Tahun Baru Imlek lantaran penampilannya cantik dengan buah yang lebat.
Di tangan para kolektor, tongheng mudah tumbuh dan berbuah meski ditanam dalam pot. Teguh misalnya menanam tanaman kerabat kemuning itu dalam pot plastik berdiameter 40 cm. Ke dalam pot Teguh memasukkan media tanam campuran tanah, sekam bakar, dan pupuk kandang kotoran kambing dengan perbandingan sama. Sementara Hervin memilih menggunakan media tanam campuran tanah, pupuk kandang, dan sekam mentah dengan perbandingan 1:1:2. Hervin menanam bibit tongheng hasil okulasi setinggi 50 cm dalam pot berdiameter 30 cm.
Setiap pekan Hervin mengocorkan larutan pupuk NPK dengan dosis 3 gram per liter ke media tanam. Setiap pot mendapatkan seliter larutan. Penyiraman dua kali sehari saat kemarau; musim hujan tergantung kondisi tanah. “Kalau hujannya deras, penyiraman dua hari sekali,” tuturnya.
Teguh Jaya memupuk dengan NPK berbentuk butiran setiap dua pekan. Dosisnya 1,5 sendok teh yang ditabur ke media tanam. Untuk mengatasi serangan hama ulat dan kutu putih, ia menyemprotkan insektisida berbahan aktif delthamethrin. Dosisnya setengah tutup botol kemasan, lalu dilarutkan ke dalam 14 liter air.
Tongheng koleksi Teguh mulai berbuah pada umur 1,5 tahun pascatanam. “Berbuah pertama kali, bisa menghasilkan 20 buah per pohon,” tuturnya. Periode berbuah berikutnya sekitar 8-9 bulan kemudian. Dengan perawatan intensif pada masa berbuah tanaman bisa menghasilkan 25 buah lebih.
Menurut Zoilus Sitepu, manajer fresh product sebuah perusahaan retail di Jakarta, jeruk dengan karakter seperti tongheng berpeluang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar saat menjelang Tahun Baru Imlek. “Konsumen jeruk seperti itu sebagian besar masyarakat Tionghoa,” kata Zoilus. Namun, tidak menutup kemungkinan jika pasokan melimpah dan rasanya diterima konsumen, jeruk tongheng dapat mengisi pasar buah tanahair sepanjang waktu.
Sosok buah yang mungil mengingatkan Emi pada jeruk nagami. Yang disebut terakhir kerap hadir sebagai jeruk hias pada perayaan Tahun Baru Imlek. Kulit nagami juga manis sehingga buah sering dikonsumsi bersama kulitnya. Hanya saja, “Rasa kulit nagami manis, tapi daging buahnya masam,” kata alumnus jurusan Agronomi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu. Bentuk buah nagami lebih lonjong sementara jeruk yang Trubus sodorkan cenderung bulat. Perbedaan lain, daun nagami membulat, sementara daun jeruk yang baru saja Emi konsumsi lebih lonjong.
Dari China
Jeruk manis kulit dan daging buahnya itu dari Hervin Sasono. Kolektor buah di Malang, Jawa Timur, itu menyebutnya jeruk tongheng. Hervin menanam bibit yang ia dapat dari seorang rekan sesama kolektor buah pada 2010. Bibit setinggi 50 cm itu sudah mengeluarkan buah tapi masih pentil. Empat bulan kemudian buah matang. Cita rasa buah sama persis yang Hervin cicipi di kebun sang rekan: kulit dan daging buah manis! Keistimewaan itu pula yang membuat Teguh Jaya terpincut menanam tongheng. Kolektor buah di Desa Bangsri, Blitar, Jawa Timur, itu mendapatkan bibit dari kolektor yang mengimpor tanaman anggota famili Rutaceae itu dari China pada 2002.
Sinse Muhammad Yusuf yang kerap mondar-mandir ke Negeri Tirai Bambu pernah mencicipi jeruk dengan karakter seperti tongheng. Ahli pengobatan tradisional china itu beberapa kali menikmati jeruk manis kulit dan daging buahnya itu saat berkunjung ke kota Guangzhou di Provinsi Guangdong, serta ketika bertandang ke Provinsi Qinghai dan Hunan. Sayang, Yusuf tidak pernah menanyakan nama jeruk itu.
Prof Dr Roedhy Purwanto dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika Institut Pertanian Bogor (PKHT IPB) menduga, tongheng masih sekerabat dengan jeruk kumquat Fortunella sp. “Rasa kulit dan buah kumquat juga manis. Kemungkinan satu spesies tapi beda varietas,” tuturnya. Namun, sebagian besar jenis jeruk kumquat tidak dapat berbuah di Indonesia. “Iklim di Indonesia tidak cocok untuk fase induksi bunga,” kata doktor Fisiologi Tumbuhan dari Ehime University, Jepang, itu.
Menurut Roedhy, untuk fase induksi pembungaan, kumquat membutuhkan suhu kurang dari 15oC selama 3 bulan. Guru besar di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB itu menuturkan kumquat juga tidak dapat tumbuh di semua daerah di China. “Jeruk itu hanya tumbuh di kawasan China bagian selatan,” kata Roedhy.
Tabulampot
Penelusuran Trubus ke beberapa penangkar buah di Bogor (Jawa Barat), Jakarta, dan Demak (Jawa Tengah) jeruk tongheng relatif baru. “Saya baru mendengar namanya,” kata Prakoso Heryono, kolektor dan penangkar buah di Demak, Jawa Tengah. Mayoritas penangkar lebih mengenal nagami yang berkulit manis. Menurut Prakoso jeruk nagami kerap dijadikan hiasan saat Tahun Baru Imlek lantaran penampilannya cantik dengan buah yang lebat.
Di tangan para kolektor, tongheng mudah tumbuh dan berbuah meski ditanam dalam pot. Teguh misalnya menanam tanaman kerabat kemuning itu dalam pot plastik berdiameter 40 cm. Ke dalam pot Teguh memasukkan media tanam campuran tanah, sekam bakar, dan pupuk kandang kotoran kambing dengan perbandingan sama. Sementara Hervin memilih menggunakan media tanam campuran tanah, pupuk kandang, dan sekam mentah dengan perbandingan 1:1:2. Hervin menanam bibit tongheng hasil okulasi setinggi 50 cm dalam pot berdiameter 30 cm.
Setiap pekan Hervin mengocorkan larutan pupuk NPK dengan dosis 3 gram per liter ke media tanam. Setiap pot mendapatkan seliter larutan. Penyiraman dua kali sehari saat kemarau; musim hujan tergantung kondisi tanah. “Kalau hujannya deras, penyiraman dua hari sekali,” tuturnya.
Teguh Jaya memupuk dengan NPK berbentuk butiran setiap dua pekan. Dosisnya 1,5 sendok teh yang ditabur ke media tanam. Untuk mengatasi serangan hama ulat dan kutu putih, ia menyemprotkan insektisida berbahan aktif delthamethrin. Dosisnya setengah tutup botol kemasan, lalu dilarutkan ke dalam 14 liter air.
Tongheng koleksi Teguh mulai berbuah pada umur 1,5 tahun pascatanam. “Berbuah pertama kali, bisa menghasilkan 20 buah per pohon,” tuturnya. Periode berbuah berikutnya sekitar 8-9 bulan kemudian. Dengan perawatan intensif pada masa berbuah tanaman bisa menghasilkan 25 buah lebih.
Menurut Zoilus Sitepu, manajer fresh product sebuah perusahaan retail di Jakarta, jeruk dengan karakter seperti tongheng berpeluang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar saat menjelang Tahun Baru Imlek. “Konsumen jeruk seperti itu sebagian besar masyarakat Tionghoa,” kata Zoilus. Namun, tidak menutup kemungkinan jika pasokan melimpah dan rasanya diterima konsumen, jeruk tongheng dapat mengisi pasar buah tanahair sepanjang waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar